10 plagiarisme dalam perspektif etika dan hukum

penyusun:

nama: muhammmad 




Plagiarisme dalam Perspektif Etika dan                                 Hukum

 

MENATAP judul tersebut bayangan jauh yang tampak ialah dapatkah tindak pidana berupa plagiarisme, yang termasuk dalam ranah hukum hak cipta, pelakunya dibidik dalam perkara tindak pidana korupsi (tipikor)?
 
Pada judul tersebut terdapat tiga variabel yang rumpunnya berbeda satu sama lain. Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?

Pada plagiarisme masuk dalam jenis dari tindak pidana hak cipta, atau apabila yang diplagiasi merupakan original creative expression, plagiator dianggap melanggar UU Hak Cipta. Ditambahkan oleh Henry Soelistyo bahwa pelanggaran hak cipta terjadi bila ciptaan yang diplagiat merupakan karya yang dilindungi hak cipta.
 
Sebaliknya, apabila karya yang diplagiat merupakan ciptaan public domain, plagiarisme yang dilakukan itu bukan merupakan tindakan pelanggaran hak cipta.
 
Lagi, apabila plagiator mendasarkan keuntungan ekonomi dari tindakan plagiasinya, ia dapat digugat ganti rugi secara perdata dan diancam dengan sanksi membayar ganti rugi (vide Pasal 1365 KUH Perdata).
 
Sementara itu, tipikor merupakan tindak pidana tersendiri yang unsur pokoknya secara melawan hukum melakukan tindak pidana memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; merugikan perekonomian negara (vide Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, atau dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (vide Pasal 3 UU Tipikor).
 
Tulisan ini menguraikan segala sesuatu tentang plagiarisme, khususnya yang terkait dengan pembajakan karya tulis seseorang, penguraian tentang ruang lingkup plagiarisme, pencegahan, penggunaan etika, penegakan hukum terkait dengan hak cipta dan sanksi bagi plagiator.
 
Perkembangan keadaan yang terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi setiap harinya kian berubah, bertambah dan berkembang dengan pesat, tidak terkecuali termasuk informasi dan telekomunikasi.
 
Pemanfaatan kemajuan pengetahuan tersebut, apabila tidak diimbangi dengan berbagai upaya pencegahan, penegakan etika atau penegakan hukum HAKI, antara lain dengan mempersiapkan sumber daya manusia yang berintegritas, jujur, tanggung jawab, adil, sikap menghindari perbuatan tidak terpuji juga diperlukan sikap kehati-hatian dengan tidak menyimpang dari ketentuan perundang-undangan.

 
Asal kata plagiarisme adalah plagiat.

 
Artinya, melakukan penjiplakan atau peniruan atau pengambilan pendapat, karangan milik pihak lain atau orang lain tanpa seizin pemilik yang sah, dengan maksud seolah-olah sebagai hasil pendapat atau karangannya sendiri.
 

Plagiat bahasa latinnya plagiarus artinya penculik (kidnapper).

 
Mengutip pendapat Fred Muller dalam kamusnya Beknopt Latyns Nederlands Woordenboek, halaman 75, mengartikan orang yang melakukan plagiat sebagai plagiarus yang berarti mensenrover atau perampok manusia atau zielverkoper atau penjual nyawa manusia.
 
Fockema Andreae dalam bukunya Rechtgeleerd Handwoordenboek memberikan pengertian kata plagiat sebagai letterdievery yang diartikan sebagai pencurian karya tulis atau pencurian suatu ciptaan karya tulis dilindungi hukum hak cipta.
 
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan plagiat yaitu pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri. Sedangkan plagiator, orang yang mengambil karangan (pendapat dsb) orang lain dan disiarkan sebagai karangan (pendapat dsb) sendiri.
 
Pembajakan ialah penggandaan ciptaan dan/atau produk terkait secara tidak langsung dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi (Pasal 1 butir 23 UU Nomor 28 Tahun 2014).
 
Penggunaan secara konvensional adalah pemanfaatan ciptaan dan/atau produk hak terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar (pasal 1 butir 24 UU Nomor 28 Tahun 2014).
 
Untuk mencegah terjadinya tindak pidana hak cipta dan hak terkait berupa plagiasi atau pembajakan melalui sarana berbasis teknologi informasi, pemerintah berwenang; melakukan pengawasan terhadap pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran hak cipta, kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri dalam pencegahan pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran hak cipta dan hak terkait (vide Pasal 54 UU Nomor 28 Tahun 2014).
 
Tindak pidana sebagaimana dimaksud oleh UU Hak Cipta yang baru merupakan delik aduan (klachtdelict); artinya aparat penegak hukum baru bisa bertindak untuk menegakan hukum hak cipta atas tindak pidana pembajakan atau plagiat yang dilakukan oleh pelaku, setelah adanya laporan atau pengaduan dari pemilik hak cipta atau pemegang hak cipta atau dari orang yang dirugikan (Pasal 120 UU Nomor 28 Tahun 2014).

 
Merusak tatanan

 
Berbeda dengan delik biasa seperti yang dianut dalam UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, tanpa adanya pengaduan atau laporan dari polisi terhadap adanya tindak pidana plagiarisme, maka otomatis aparat dapat menindaknya.
 
Sanksi pidana bagi pembajak atau plagiator diatur pada Pasal 112 sampai dengan 118 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
 
Plagiarisme ditinjau dari segi moral atau etika, jelas melanggar tata kehidupan secara wajar dan normal dan bahkan melanggar hukum (hak cipta) karena mereka mengambil gagasan orang lain tanpa sepengetahuan, tanpa izin yang sah dari pemilik/pemegang dan biasanya tidak menyebutkan secara tegas dan jelas tentang sumber karya asli yang dijiplak.
 
Salah satu bukti adanya plagiasi, yaitu buku karangan asli milik R Wiyono, SH dengan judul Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Cetakan Pertama, Juni 2005.
  
Pada November 2010 diterbitkan buku berjudul Memberantas Korupsi Bersama KPK yang ditulis oleh Dr ED, MSi oleh penerbit yang sama.
 
Pasal tindak pidana hak cipta yang mana yang diterapkan oleh penyidik/penuntut umum dan sanksi pidananya sesuai perbuatan pidana yang dilakukan dan sesuai fakta yang diperoleh di persidangan.
 
Pada sisi lain, untuk membuktikan tindak pidana yang dilakukan, acap kali jaksa penuntut umum melihat secara pasti latar belakang dari perbuatan tersangka, adakah niat jahat (mens rea) yang sudah direncanakan sedemikian rupa oleh pelaku tindak pidana dimaksud.
 
Pasal 183 UU No 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana menjadi dasar untuk membuktikan salah tidaknya pelaku pembajakan karya tulis seseorang.
 
Untuk menjatuhkan pidana, harus terbukti sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan atas dua alat bukti dimaksud.
 
Hak cipta terhadap karya tulis ilmiah itu merupakan hak eksklusif yang terdiri dari atas hak moral dan hak ekonomi, maka perlu mendapatkan perlindungan/penegakan hukum bagi pemilik atau pemegang hak cipta.
 
Hak moral artinya hak pribadi yang melekat secara abadi pada diri pencipta/untuk hak ekonomi terhadap karya ilmiah ciptaan artinya pemegang hak cipta berhak untuk memperoleh manfaat ekonomi atas ciptaannya.
 
Berbicara plagiat dan plagiarisme, telah diatur juga dalam rumusan UU Hak Cipta, sebagaimana Pasal 2 UU Nomor 28 Tahun 2014.
 
Hak eksklusif bagi penciptaan atau penerima hak untuk memublikasikan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Sementara yang disebut sebagai hak eksklusif/pencipta karya tulis adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.
 
Dalam menghadapi permasalahan ini diperlukan pemahaman yang benar makna dan ruang lingkup hak cipta, penerapan sanksi yang tegas dan berani dari aparat penegak hukum sehingga kepentingan atau hak dari pencipta atau pemegangnya akan mendapat perlakuan dan perlindungan atas hak cipta secara lebih baik.
 
Perkara hak cipta termasuk perkara penting, bahwa tata cara pengendalian, penanganan dan penyelesaiannya dilaksanakan sesuai Instruksi Jaksa Agung RI Nomor INS-004/JA/3/1994 tanggal 9 Maret 1994 tentang Pengendalian Perkara Penting Tindak Pidana Umum.
 
Pada sisi lain, merupakan tugas dan tanggung jawab kita (para dosen, guru besar) untuk pro aktif melakukan perbaikan sistem pengawasan, pengetatan dan penilaian sebuah karya ilmiah.



   Plagiat Tanda Lemahnya Etika Akademik

Medan, (Analisa). Dalam dunia pendidikan dan akademis di Indonesia masih banyak ditemui persoalan plagiat khususnya untuk karya tulis ilmiah. Hal ini menerangkan bahwa masih rendah dan lemahnya etika akademik dalam praktik dan sistem pen­didikan nasional. Padahal plagiat merupakan suatu larangan dalam pendidikan.

Demikian disampaikan akademisi Dr Muhammad Arifin, SH, MHum saat mem­­berikan paparan materi pada Sta­dium Generale Pendidikan Pasca­sarjana Universitas Islam Negeri Su­ma­tera Utara (PPs UINSU) semes­ter ganjil 2018 di aula utama PPs UIN­SU Jalan IAIN Ke­camatan Medan Ti­mur, Kamis (6/9).

Kuliah umum ini mengangkat tema perspektif hukum tentang plagiat dalam dunia akademik. Membahas tentang plagiat yang begitu dilarang dalam akti­vitas dunia pendidikan tinggi khu­susnya dalam rangkaian penyu­sunan suatu karya ilmiah. Kegiatan ini diikuti ratusan mahasiswa pascasarjana UINSU baik studi magister maupun doktoral.

Narasumber, Dr Arifin menyam­pai­kan sejumlah indikasi dan aspek-aspek masih adanya plagiat dalam sistem pen­didikan nasional. “Berbagai penyebab terjadinya tindakan plagiat, salah sa­tunya yaitu karena masih le­mah­nya etika akademik,” tegasnya.

Selain lemahnya etika akademik yang dimiliki insan pendidikan di Tanah Air, ia juga menjelaskan se­jumlah faktor lain yang menyebabkan plagiat masih sulit untuk dibendung. Yaitu banyaknya insan pendidikan yang tidak berorientasi pada proses tapi hanya terpaku pada hasil yang belum tentu sesuai dengan ketentuan dan kompetensi yang seha­rusnya.

“Tidak berorientasi pada proses tapi hanya pada hasil sehingga punya ke­cenderungan melakukan tindak pla­giat. Lalu prestise hanya untuk men­dapatkan gelar akademik saja, bukan kualitas dari hasil pembela­jaran,” je­lasnya yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor I UMSU ini.

Ia menjelaskan, plagiat juga dise­babkan karena masih lemahnya me­kanisme penilaian atas suatu karya tulis ilmiah. Untuk aspek ini, ia menya­rankan agar setiap kampus mempunyai lem­baga khusus untuk pengujuan karya tulis ilmiah. “Harusnya  di setiap pergu­ruan tinggi ada majelis khusus atau lembaga pengujian yang bertugas untuk  menilai suatu tulisan ilmiah, agar ter­hindar dari kandungan-kandungan pla­giat,” paparnya.

Cabut gelar

Lalu, sebab berikutnya yaitu minim­nya penerapan aspek hukum dalam soal plagiat ini. Variabel hukum dinilai be­lum mampu memberikan efek jera ke­pada pelaku plagiat sehingga masih menjamur bagi lainnya. Padahal Un­dang-Undang tentang Hak Cipta sudah ada untuk melindungi suatu karya. Namun jelasnya, dalam berbagai kasus plagiat dapat diselesaikan secara keke­luargaan sehingga tidak berefek jera.

“Dalam sejumlah kasus plagiat, da­lam penyelesaiannya aspek etika lebih mendominasi dibanding dengan aspek hukum positif. Sehingga dalam penera­pan hukum masih dinilai lemah,” pung­kasnya.

Padahal, jika mengacu pada  undang-undang sistem pendidikan nasional, dijelaskan bahwa kalau ada indikasi plagiat dan dibuktikan dengan berbagai pengujian dan pembandingan terhadap suatu karya tulis ilmiah yang diindikasi melakukan plagiat, maka gelar akade­misnya bisa dicabut. “Kalau ada indi­kasi plagiat bisa dicabut gelar akade­miknya,” paparnya.

Dalam penulisan karya tulis ilmiah, memang dibenarkan jika melakukan pengutipan data atau bahan dari karya lainnya baik secara kutipan langsung atau tidak langsung. Namun ia menya­rankan tetap memperhatikan sejumlah aspek. Mulai dari menuliskan sumber­nya, memodifikasi tulisan namun tidak berubah substansi dan makna tulisan tersebut. Kendati demikian, ia menya­rankan pula untuk menggunakan kuti­pan tidak langsung.




DAFTAR PUSAKA.

Widyo Pramono, 2015. Plagiarisme dalam Perspektif Etika dan Hukum. https://www.medcom.id/pilar/kolom/5b2lZr4K-plagiarisme-dalam-perspektif-etika-dan-hukum. 13 febuari 2021 waktu 14:59

_______. 2018. Plagiat Tanda Lemahnya Etika Akademik. https://analisadaily.com/berita/arsip/2018/9/7/614620/plagiat-tanda-lemahnya-etika-akademik/. 13 febuari 2021 waktu 14:59

Komentar

Postingan populer dari blog ini

7. Perangkat jaringan komputer

5 Subnetting Ipv4 model VLSM

13 arsitektur sistem operasi windows 10